About Me

Indonesia Serikat Menceritakan tentang Republik Indonesia dari jaman Kerajaan Hingga Saat ini Untuk Memberi Semangat Pancasila.

Ads

Judi fajar pakong Online
Judi fajar pakong Online

Breaking News

Ada dua Versi utama yang menceritakan asal-usul Semar

Flickr

GARUDA PANCASILA

GARUDA PANCASILA
INDONESIA PANCASILA

Sisilah Asal Usul Sejarah Eyang Semar dan Togog


Senja berganti malam dan malam sirna berganti siang, sewaktu berputar menutup hari serta kemudian berganti hari. Sekarang putra-putra Sang Hyang Tunggal telah tumbuh dewasa. Sang Hyang Antaga, Sang Hyang Ismaya, dan Sang Hyang Manikmaya, mereka sama-sama mewarisi berbagai ilmu pengetahuan lalu kesaktian dari ayahnya hingga mereka benar-benar menjadi kesatria dewa yang pilih tanding.

Alkisah di istana Jonggring Salaka, Kahyangan Suralaya. Sang Hyang Tunggal yang didampingi kedua permaisurinya memanggil ketiga putranya, Sang Hyang Antaga, Sang Hyang Ismaya kemudian Sang Hyang Manikmaya. Ia bermaksud ingin menyerahkan tahta Suralaya kepada salah putranya, namun sebelumnya Sang Hyang Tunggal mengisahkan perihal kelahiran mereka yang berasal melalui sebutir telur hingga tercipta menjadi sosok manusia dewa. Dan yang membuat Sang Hyang Tunggal belum dapat menentukan siapa diantara putranya yang berhak mewarisi Kahyangan Suralaya, adalah karena terlebih dulu Sang Hyang Tunggal menyirami tiga bagian pecahan telur itu secara bersamaan hingga tidak ada yang tercipta lebih dahulu dari bagian lainnya, tidak ada istilah ter-tua diantara yang sebagainya, besarnya pun bersamaan.

Sebelum Sang Hyang Tunggal sudah bersabda, tiba-tiba Sang Hyang Antaga berkata kepada Sang Hyang Tunggal. Ia mengatakan bahwa kulit telur sudah tentu lebih awal dilahirkan, sebab kulit berada diluar isi dan telah ditakdirkan jadi pelindung, yaitu melindungi isi telur yang lemah. Maka berdasarkan Sang Hyang Antaga, kulit telurlah yang dianggap bertambah tua dibandingkan dengan isinya.
Sang Hyang Ismaya menepis perkataan Sang Hyang Antaga. Menurutnya, bahwa kulit selanjutnya isi telur adalah 1 kesatuan yang terlahir bersamaan. Tanpa adanya putih serta merah telur yang seperti isi, maka kulit telur pun tidak akan nyata. Tidaklah mungkin telur terlahir hanya kulitnya saja minus ada isi yang sudah ikut menyempurnakan keadaannya. Serta Sang Hyang Ismaya mengingatkan kepada Sang Hyang Antaga, bahwa putih dan merah telur yang menjadi isi adalah cikal bakal dimana menjadi adanya tanda-tanda kehidupan. Kulit hanya ragangannya tertentu, tetapi isilah yang memerankan sumber dan keutamanya.

Sang Hyang Antaga tersinggung mengenal kata-kata Sang Hyang Ismaya. Ia yang tercipta untuk kulit telur merasa dihina, tidak dianggap memiliki keutamaan, hanya ragangan yang bertanda benda kosong yang bukan memiliki arti. Sang Hyang Antaga pun berjumawa, ia menganggap kulit telur merupakan yang terkuat dengan wujud keras dibandingkan isi. Sang Hyang Ismaya membantah, tips bisa disebut kuat seandainya kulit telur bisa retak dan pecah. Adu mulut antara Sang Hyang Antaga dan Sang Hyang Ismaya kian memanas, mereka berdua sama-sama telah terbakar amarah.

Kita adu kesaktian! Siapa saja yang kuat diantara anda!

Adigang, adigung, adiguna. Sang Hyang Antaga menunjukan perwatakannya yang secara lahir tercipta dari kulit telur, kerpl??a, jumawa dan selalu merasakan dirinya yang paling hebat.
Sang Hyang Ismaya dalam sudah merasa jengah oleh segala perkataan dan sikap saudaranya, menanggapi tantangan. Untuk Sang Hyang Ismaya menolak tantangan adalah tindakan adalah pengecut. Sekaligus akan menyediakan pelajaran kepada Hyang Antaga bahwa “girilusi jalmo suntan keno ing ngino” tadinya langit masih ada langit, jangan menganggap diri amat sakti di atas muka bumi.

Melihat perselisihan yang kian memanas diantara kedua putranya, Sang Hyang Tunggal \ melerai. Ia menasehati putra-putranya agar bisa lebih berpikir secara jernih dan terbuka, sebab semua masalah maka akan ada jalan keluarnya apabila tanggapi dengan jiwa dimana bersih. Tapi sudah terlanjur, keduanya sudah merasa saling dihinakan satu sama lain, maka keduanya pun telah tidak menghiraukan lagi nasehat ayahandanya.

Bertikai dengan orang sendiri, apakah kalian gak akan menyesal nantinya?

Guntur menggelegar dan kilat menyambar. Awan hitam berarak berkejaran menutupi langit, bumi juga bergetar. Candradimuka bergolak menyemburkan lahar api yang amat panas. Sabda Sang Hyang Tunggal telah menjadi kutukan bagi mereka, namun dikarenakan keduanya sudah sama dirasuki nafsu angkara murka, jadi keduanya sudah tidak bisa berfikir dengan hati nuraninya. Hyang Antaga segera melesat meninggalkan Jonggring Salaka, lalu kemudian disusul oleh Sang Hyang Ismaya.

Dilain kubu Sang Hyang Manikmaya sebatas diam membisu. Dia \ mau melibatkan diri di dalam pertikaian kedua saudaranya, terkesan tidak ingin ikut campur. Akan tetapi ‘diam’ yang diterapkan Sang Hyang Manikmaya tidaklah sebab halus budi pekertinya. Disinilah perbedaan perwatakan diantara mereka. Sang Hyang Manikmaya lebih cerdik dibandingkan kedua saudaranya, ia licik kemudian otaknya mampu bekerja melalui baik dibandingkan nafsunya. Sang Hyang Manikmaya akan membiarkan kedua saudaranya yang bertikai. Ia tahu bahwa diantara mereka mempunyai kesaktian dalam berimbang, jadi untuk berkaitan harus membuang tenaga turut mengadu kesaktian dengan mereka. Yang terlintas dalam pikirannya adalah, ini kesempatan benar untuk bisa merebut hati ayahandanya dan mengincar singgasana Suralaya.

Sementara itu, dalam di luar gerbang gaib Selamatangkep, dua kesatria dewa telah saling beradu kesaktian. Masing-masing dari keduanya menunjukan keluhuran ilmunya. Saling mengeluarkan aji jaya kawijaya selanjutnya saling menghunus pusaka kadewatan. Mereka saling serang, saling pukul, saling tusuk serta saling banting hingga mengakibatkan guncangan hebat bagi bumi tempat mereka bertarung. Gunung longsor, bukit rug-rug. Candradimuka tidak henti-hentinya mengeluarkan semburan api panas yang menyala, asap hitamnya menggumpal melingkupi puncak Himalaya (Kahyangan Suralaya).

Tidak disangsikan lagi kehebatan dari kedua putra Sang Hyang Tunggal itu, keduanya sama-sama sakti, tidak muncul yang kalah dan tak ada yang menang. Palagan yuda tempat bertarung mereka tidak hanya di atas lapisan bumi, tapi juga buka ke dalam perut bumi, bertarung di dasar samudera dan bahkan berdirgantara dalam angkasa.

Pertempuran dua kesatria dewa yang berlangsung gebyar ini mengundang rasa keprihatinan bagi kakek-kakek mereka, teliti Sang Hyang Wenang dimana bersemayam di alam ‘sunyaruri’, ataupun Sah Hyang Rekatama (Sang Hyang Yuyut) dalam bersemayam di Samudralaya. Sudah banyak yang menjadi korban karena dampak dari kompetisi kedua cucunya. Rusaknya gunung, hutan dan lautan, pun mahluk-mahluk lain baik dimana berada di alam cyber ataupun di alam nyata.

Pertarungan antara Sang Hyang Ismaya dan Sang Hyang Antaga telah memakan ketika yang cukup lama, tanpa stop dan tanpa mengenal dulk? lelah. Dan saat kompetisi menginjak waktu yang ke-empat puluh hari, Sang Hyang Tunggal memutuskan untuk menyelesaikan pertarungan dengan mengajukan syarat sayembara kepada kedua putranya. Barang siapa yang dapat menelan gunung Jamurdipa lalu lalu memuntahkannya kembali, hingga dialah yang akan diakui sebagai yang tertua kemudian dinobatkan sebagai Raja Tribuana, mewarisi seluruh Kahyangan Suralaya.


Sang Hyang Antaga selanjutnya Sang Hyang Ismaya menyanggupi sayembara tersebut. Keduanya selanjutnya mempersiapkan diri. Didahului dengan Sang Hyang Antaga, ia bertiwikrama menjadi berhala sewu yang besarnya melebihi gunung. Dan lalu gunung Jamurdipa dicabut dan dimasukan ke dalam mulutnya. Ia memaksa untuk menelan, namun ia merasa sangat kesusahan tuk menelannya, Gunung Jamurdipa tersebut masih berukuran lebih tinggi dari mulutnya, tapi hal ini karena nafsunya yang besar, oleh sebab itu ia terus mencoba memasukan gunung itu ke pada mulutnya hingga mulutnya robek besar. ‘Kegedhen empyak sedikit cagak’, besar keinginannya tetapi kurang mempunyai perhitungan.

Menengok Sang Hayang Antaga dalam sedang bersusah payah hendak menelan gunung, Sang Hyang Ismaya segera melakukan tiwikrama. Tubuhnya seketika meninggi serta membesar, wujudnya seketika ini juga berubah menjadi berhala sewu. Akan tetapi wujud reksa denawa Sang Hyang Ismaya lebih tinggi besar dibandingkan dengan wujud raksasa jelmaan Sang Hyang Antaga. Tingginya melebihi tujuh kali puncak Himalaya. Kemudian Berhala Sewu perwujudan dari Sang Hyang Ismaya dengan cepat merebut gunung yang hendak ditelan oleh Sang Hyang Antaga. Dalam keadaan seperti tersebut Sang Hyang Antaga sebagai limbung, pandangan matanyapun hanya serta merta menjadi gelap, tidak sadarkan diri. Tubuhnya sekejap berubah kembali jadi kecil dan luruh ambruk di atas bumi.

Kini gilliran Sang Hyang Ismaya, akan kekuatan luar biasa Sang Hyang Ismaya memaksakan gunung Jamurdipa masuk ke di mulutnya. Oleh sebab tubuhnya lebih besar dari reksa denawa jelmaan Sang Hyang Antaga, maka dengan kekuatannya Sang Hyang Ismaya berjaya memasukan gunung Jamurdipa ke dalam mulutnya, dan kemudian ditelan. Sang Hyang Ismaya sempat tercekat, ia merasakan seperti tercekik dan susah bernafas saat gunung Jamurdipa tertelan masuk di kerongkongannya. Ia mengerahkan seluruh stamina dan kesaktiannya hingga gunung itu pun langsung amblas ke dalam perutnya.

Seperi juga Hyang Antaga, Sang Hyang Ismaya sudah kekurangan seluruh tenaganya, ia merasakan sudah tidak mampu pula untuk mencoba memuntahkan balik gunung Jamurdipa. Tubuhnya dingin dan lunglai, lalu seketika berubah kembali menjadi tipis, jatuh terkapar tidak sadarkan diri.

Sementara di Jonggring Salaka, Sang Hyang Tunggal yang sudah mengetahui peristiwa yang telah dialami kedua putranya hanya merenung. Ia pun menyesali atas kesalahannya waktu dulu, saat menyempurnakan wujud telur yang seperti asal muasal mereka. Semestinya mereka tidak disempurnakan via bersamaan, sehingga bisa dibedakan mana yang lebih mulanya tercipta dan untuk dituakan. Namun yang lebih disesalkan lagi adalah mereka suah tidak mau mendengarkan nasehatnya sebagai orang tua, tentang mau dikata, semuanya telah terlanjur, dan mereka suah memilih jalannya masing-masing.

Alam kembali menjadi tenang, burung-burung berkicau dikegelapan pagi, lalu angin berhembus semilir meniupkan nafasnya yang gemulai. Diantara basahnya embun pagi tadinya dedaunan, dua sosok mahluk yang terkapar di atas tanah kini mulai bergerak hidup, menunjukan bahwa keberadaan mereka masih memiliki nafas.

Mereka yang tidak lain ialah Sang Hyang Antaga kemudian Sang Hyang Ismaya dimana telah tidak sadarkan sendiri untuk beberapa saat lamanya, dan kini mulai terbangun dari sadarnya. Keduanya tena terlihat bingung dan misalnya sedang mengingat-ingat sesuatu. Benar Sang Hyang Antaga maunpun Sang Hyang Ismaya kaga pulih total kesadarannya, mereka sama terkejutnya saat saling berhadapan. Dan Salah 1 dari mereka lalu bertanya jawab.

Siapa andika?

Yang ditanya menjawab sebagai Sang Hyang Antaga. Yang bertanya sontak terkejut seperti mendengar petir disiang bolong. Betapa bukan, yang mengaku sebagai Sang Hyang Antaga itu berpenampilan buruk rupa. Penampilan selanjutnya mukanya sangat jauh yang Sang Hyang Antaga dalam sangat ia kenal. Sang Hyang Antaga yang sungguh-sungguh ia kenali adalah sosok kesatria perkasa, sedangkan dimana dihadapinya bisa dibilang berlimpah mirip dengan mahluk jadi-jadian sebangsa Jin atau Dedemit. Tubuhnya pendek buncit, mukanya tidak seimbang dengan mulutnya yang sangat lebar menyerupai mulut angsa. Belum juga habis rasa herannya, dalam tadi mengaku bernama Sang Hyang Antaga balik menanya.

Lah! Andika sendiri siapa saja?

Kini giliran dia menjawab dan mengaku bernama Sang Hyang Ismaya. Seperti jua Sang Hyang Ismaya, Sang Hyang Antaga pun kaget bukan kepalang. Sang Hyang Ismaya seharusnya berwajah elok dan bersinar seperti matahari, tapi yang mengaku Ismaya ini bertubuh gemuk berpantat besar, wajahnya pun persis sekali tidak mirip, paling lebih tua.

Mereka berdua saling meyakinkan siapa mereka, dan baru tersadar ketika mereka mencoba untuk mengenali bentuk tubuh masing-masing, merabai seluruh wajah dan tubuhnya. Mereka sama-sama terkejut serta menjadi sadar bahwa mereka berdua telah terkena kutukan orang tua mereka, Sang Hyang Tunggal. Lalu mereka berdua menangis sejadi-jadinya sambil berangkulan seperti anak sedikit. Dan kemudian memutuskan buat kembali pulang ke Kahyangan Suralaya, menghadap Sang Hyang Tunggal.

Di Jonggring Salaka, di hadapan Sang Hyang Tunggal. Sang Hyang Ismaya dan Sang Hyang Antaga masih terus menangis memohon ampunan, mereka memohon ayahandanya untuk merubah kembali wujud mereka seperti semula. Tetapi Sang Hyang Tunggal gak dapat mengabulkan permohonan mereka. Menurutnya ini sudah takdir dan kehendak Yang Maha Kuasa.

Sang Hyang Tunggal bersabda kepada para putranya bahwa dirinya akan kunjung mokswa ke alam sunyaruri, namun sebelumnya ia jadi menunjuk salah satu dalam putranya untuk menggantikannya memerankan Raja Tribuana di Kahyangan Suralaya. Lalu Sang Hyang Tunggal menunjuk dan menobatkan Sang Hyang Manikmaya sebagai Raja Tribuana, dan pada Sang Hyang Antaga pula Sang Hyang Ismaya, Sang Hyang Tunggal menyarankan mereka untuk turun ke marcapada apabila Sang Hyang Manikmaya kelak menurunkan keturunannya pada Marcapada.

Sebagai Raja Tribuana, Sang Hyang Manikmaya diberi tugas untuk menentramkan marcapada. Sedangkan Sang Hyang Antaga bila saatnya nanti turun ke marcapada harus merubah namanya menjadi Togog (Togog Wijomantri). Ia ditugaskan bagi mengasuh, mendidik dan memberikan nasehat budi pekerti dimana baik kepada para cisura keturunan Sang Hyang Manikmaya yang berwujud raksasa. Kelak dikehidupannya nanti Togog mengenai menghamba dan ikut untuk para raja raksasa contohnya raja-raja Lokapala hingga Alengka yang berasal dari keturunan Batara Sambu, putra sulung Sang Hyang Manikmaya.
Lalu kepada Sang Hyang Ismaya, bila saatnya turun ke marcapada harus berganti merek menjadi Semar (Semar Badranaya). Ia ditugaskan untuk mengasuh para raja, brahmana, lalu kesatria yang masih keturunan Sang Hyang Manikmaya.

Sesungguhnya yang paling berat yaitu tugas Sang Hyang Antaga, sebab ia disuruh membantu pelajaran budi pekerti, menasehati serta meluruskan para corte raksasa yang kebanyakan sifat dan perwatakannya penuh oleh angkara murka.

No comments:

Post a Comment