CHENG HO
Nalar kritis saya agak tergelitik membaca ulasan tentang Laksamana Cheng Ho di Jawa Pos beberapa hari ini. Terkesan terlalu lebay, melebih-lebihkan dan kurang tajam dalam melakukan kritik sumber. Mungkin karena hanya merujuk pada satu sumber saja ditambah beberapa data dari Museum Cheng Ho di Tiongkok.
Terkesan begitu mengagung-agungkan bangsa lain tapi lupa mempelajari bahwa sampai abad 15 Armada Laut Jawa telah menguasai 7 jalur perdagangan dunia.
Mengutip tulisan dari Irawan Djoko Nugroho, seorang filolog naskah-naskah kuno, berjudul Akhir Kisah Cheng Ho, ia menulis bahwa ekspedisi Cheng Ho sebenarnya dianggap tidak terlalu penting dalam kajian sejarah Indonesia. Bernard HM Vlekke dan Antony Reid-lah yang pertama-tama membahas ekspedisi Cheng Ho dalam kaitannya dengan sejarah Indonesia dan kemudian dikutip dan dibahas oleh sejarawan-sejarawan lainnya sehingga seakan-akan menjadi peristiwa yang maha besar di tanah Jawa. Tapi benarkah demikian?
Adalah disertasi berjudul “Peradaban Jawa: Dari Mataram Kuno Sampai Majapahit Akhir” karya Supratikno Rahardjo yang sama sekali tidak mencantumkan kisah ekspedisi Cheng Ho, karena dianggap bukan sebagai informasi yang penting dalam sejarah Indonesia. Sebuah sikap sejarawan yang tentu saja berlawanan dengan arus utama gairah mayoritas masyarakat, apalagi setelah dibumbui oleh hal-hal berbau agama.
Ekspedisi Cheng Ho hanya dituliskan secara rinci oleh satu teks saja, yaitu naskah dari Dinasti Ming. Dan setahu saya belum ditemukan naskah-naskah kuno sejaman yang mencatat kejadian itu sehingga kajian antar teks tidak bisa dilakukan untuk menentukan validitas datanya.
Adalah wajar bahwa suatu bangsa mengagung-agungkan peradaban negerinya…tetapi sebuah media nasional seyogyanya menggunakan pendekatan kritisnya sebelum melakukan blow-up berita….letakkan fakta dan data di tempat yang semestinya, sehingga jangan sampai dianggap abai dengan kenyataan sejarah negerinya sendiri.
No comments:
Post a Comment